Rabu, 09 April 2008

Masa Lalu dan Amnesia Bangsa Tikus

Masa Lalu dan Amnesia Bangsa Tikus

oleh : Fajar Setiawan Roekminto

"Rasa tidak tenteram itu berakar pada tidak adanya kepertjajaan akan kemadjuan didalam masjarakat kita, selama korupsi masih meradjalela, selama kepentingan daerah masih dilalaikan, dan selama usaha pembangunan ekonomi setjara berarti tidak ada." (Petikan Tajuk Rencana berjudul Kearah Kekatjauan Jang Lebih Besar ? Mingguan Siasat Tahun ke X, No 482, 5 September 1956)

Sebelas tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Mingguan Siasat rupanya merasa khawatir melibat situasi bangsa yang semakin hari semakin memburuk sehingga perlu mengingatkan masyarakat akan makna sebuah kemerdekaan dan kesadaran berbangsa, dengan menurunkan Tajuk Rencana yang salah satu bagiannya saya kutip di atas. Apakah bangsa ini memang bangsa yang amat pelupa sehingga banyak fragmen – fragmen sejarah yang sekedar terlupakan, dilupakan, sengaja ditutupi atau bahkan dimusnahkan sama sekali. Benarkah bangsa ini harus menerima “kutukan” sehingga harus menerima dan ikhlas untuk terus menerus menjadi bangsa yang menderita amnesia? Seolah - olah apa yang terjadi dalam sejarah bangsa ini sudah dicetak biru oleh Sang Pencipta.

Suatu malam saya sempat merasakan nikmatnya tidur selama 7 jam di kamar kos yang berantakan. Saking nikmatnya tidur itu saya bermimpi kembali ke Republik Tikus, sebuah negeri yang mirip Republik Manusia. Rupa - rupanya “kutukan” serupa juga dialami oleh negeri bernama Republik Tikus. Penyakit amnesia sudah merupakan penyakit kutukan seperti layaknya penyakit kusta dalam kisah – kisah yang ditulis dalam kitab Perjanjian Lama. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Tikus, banyak hal yang telah dilupakan oleh Bangsa Tikus ini, baik oleh para pemimpinnya maupun warganya sendiri.

Mungkin telah terjadi brain washing yang luar biasa pada jutaan memori dalam kepala tikus di Republik Tikus sehingga dengan mudah tikus – tikus itu melupakan kejayaan dan kemakmuran yang pernah terjadi di awal – awal kemerdekaan Republik Tikus, akibatnya kesalahan – kesalahan yang sama selalu terjadi berulang - ulang. Dalam beberapa diskusi dengan intelektual – intelektual Republik Tikus, mereka mengatakan bahwa Republik Tikus memiliki kemiripan dengan Republik Manusia, katakanlah bernama Republik Indonesia. Pada saat reformasi seperti sekarang ini masih banyak bandit dan maling yang merampas uang rakyat pada masa Orba dengan leluasa bebas berkeliaran sementara mereka yang menjadi “maling curut” harus ngendon bertahun – tahun di Cipinang dan bahkan kadang dipenjarakan dengan tanpa proses hukum yang jelas. Inilah realitas Republik Manusia bernama Indonesia ketika hukum memang tidak pandang bulu, namun yang dipandang adalah bulunya siapa. Dalam kasus yang terjadi di Republik Tikus memang agak berbeda karena berkaitan dengan integritas yang bersifat lebih personal. Entahlah, mungkin dalam kehidupan bangsa tikus ini, memang harus ada beberapa tikus yang ditakdirkan untuk menjadi Judas yang “wajib” untuk mengkhianati Jesus hanya demi hepeng, atau memang amnesia sudah menjadi penyakit yang sangat akut ketika kebaikan – kebaikan seseorang pada masa lalu dan kesalahan – kesalahan besar dengan mudah hilang diterpa angin.

Ada sekian banyak kealpaan yang telah dilakukan Bangsa Tikus ini. Ambilah contoh proyek ambisius pengadaan sistem informasi. Sebuah proyek di Republik tikus pada masa lalu yang mempergunakan high-tech dengan ABRT (Anggaran Belanja Republik Tikus) yang luar biasa besar. Beberapa oknum pemimpin Republik Tikus rupanya terobsesi oleh Habibie. Dengan ambisinya yang luar biasa besar, Habibie bermimpi untuk menjadikan Indonesia sebuah negara industri maju dan salah satu negara pembuat pesawat terbang. Namun demikian Habibie lupa, dan mungkin juga Bangsa Tikus, bahwa untuk dapat menjadi negara industri yang pertama - tama harus dllakukan adalah kemampuan untuk mengolah biji besi, kematangan SDM dan arah kebijakan politik ekonomi yang jelas. Punyakah Republik Indonesia semua itu?

Satu hal yang dilupakan Habibie adalah bahwa Republik Indonesia adalah negara agraris sehingga bidang pertanian harus mendapatkan prioritas utama dan bukan industri bertekhnologi tinggi macam apa yang dilakukan oleh Habibie dengan IPTN-nya. Apa yang terjadi kemudian? Semua kemudian telah lupa dimana IPTN, pesawat - pesawat terbang itu dan bahkan Habibie saat ini karena industri tersebut tidak pernah membumi. Ketika masih mahasiswa di tahun 90-an, saya sempat terkekeh ketika membaca dan melihat foto – foto dari majalah – majalah undergound pergerakan mahasiswa yang menampilkan sosok – sosok bule di IPTN dan mereka terpaksa “disembunyikan” saat tamu – tamu negara datang bersama Suharto ke sana, dari situlah kemudian lahir akronim IPTN, Industri Pariwisata Tamu Negara.

Saya juga sempat terkekeh ketika Republik Tikus berencana membangun jaringan sistim informasi, bagaimana mungkin Republik Tikus mengadopsi sebuah sistem informasi yang sebenarnya bisa dibuat sendiri oleh putra – putra terbaik Republik Tikus. Saya terkekeh karena dengan kemampuan IT pas – pasan saja saya bisa katakan bahwa Republik Tikus telah mengadopsi sebuah sistem yang mungkin dalam beberapa tahun kedepan sudah ditinggalkan oleh Republik Monyet, negeri tempat Republik Tikus mengadopsi sistem itu. Dalam rangka mengsukseskan program itu Republik Tikus mendatangkan konsultan – konsultan dari luar negeri dengan bayaran mahal. Dengan sedih saya membayangkan akankah tragedi IT ke-2 menimpa Bangsa Tikus? Semoga saja tidak. Semoga saja dengan dana ratusan juta uskit (mata uang Republik Tikus) hasil itu sebanding dengan apa yang didapatkan.

Saya menjadi teringat apa yang terjadi dengan kondisi persebakbolaan Indonesia. Dalam sebuah diskusi mengenai sepak bola saya mengatakan bahwa membangun sebuah timnas yang tangguh bukan dengan cara study tour ke Real Madrid, Chelsea dan Manchester United serta mendatangkan pelatih asing atau mengikuti pelatihan jangka panjang di luar negeri melainkan dengan membangun manajemen yang baik di tubuh federasi sepak bolanya serta menciptakan liga yang kondusif. Akh, saya jadi geli bercampur sedih ketika menonton pertandingan timnas Indonesia melawan Laos dan Vietnam.

Membangun Kesadaran dan Ingatan Kolektif

Membaca buku Ilustrated History of The World terbitan The Kingfisher New York tahun 1992, membuat saya merasa tergugah. Buku itu memberikan pada pembaca sebuah pengalaman dan kegairahan baru dalam belajar sejarah. Pembaca disuguhi tidak hanya informasi tapi juga gambar – gambar full color mengenai sejarah dunia. Buku setebal 761 halaman tersebut membantu kita untuk selalu mengingat masa lalu, baik itu keberhasilan, kegagalan, kesalahan, kenangan indah dan mimpi buruk yang telah dilakukan oleh peradaban manusia. Buku itu seolah memberitahukan bahwa sejarah harus menjadi kunci untuk mengingatkan suatu bangsa. Buku itulah yang kemudian saya hadiahkan kepada para pemimpin Republik Tikus dalam kunjungan saya ke sana.

Seberapa pedulikah Bangsa Tikus terhadap masa lalu? Masa lalu, dalam kemasan yang bernama sejarah, seyogyanya dipakai untuk membangun ingatan dan kesadaran kolektif bangsa yang kemudian dijadikan dasar bagi pemahaman bahwa sejarah adalah sebuah bentuk “belajar dengan cara terus menerus mencari" (leant by inquiry) dengan maksud untuk mengoreksi dan mengevaluasi kerja keras Bangsa Tikus, dengan tujuan untuk menjadikan masa kini dan masa mendatang menjadi lebih baik.

Bagaimana sosok masa lalu itu dilihat oleh Bangsa Tikus? Masa lalu dipahami sebagai absolutely past, ia tidak mempunyai ikatan apa - apa dengan masa sekarang. la diartikan sebagai apa yang telah terjadi dan selesai pada masa lampau, dengan demikian tidak mengherankan sejarah tidak diminati, pertama karena materi dan buku - buku sejarah yang tidak menarik dan kedua sejarah itu sendiri dianggap sebagai kumpulan cerita fiktif yang tidak mempunyai hubungan emosional dengan realitas masa kini. Fenomena ini diperparah dengan adanya pembelokan fakta – fakta sejarah bagi kepentingan sesaat penguasa.

Bangsa Tikus seharusnya melakukan flashback pada apa yang telah dialami, dilakoni dan dikerjakan. Masa lalu bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk diingat dan juga bukan sebuah kumpulan kepedihan yang bisa dilegalkan bagi pelampiasan dendam pada masa kini dan masa datang. Bangsa Tikus sepertinya enggan berdialog dengan masa lalu sehingga tidak jarang terjadi kekeliruan dalam membuat keputusan pada masa sekarang serta selalu meleset dalam membuat suatu perencanaan bagi masa depan. Setelah melakukan perjalanan selama satu minggu di Republik Tikus, ternyata Bangsa Tikus diisi oleh banyak elemen - elemen yang berpikir secara terkotak - kotak. Mereka merasa ada dalam sebuah masyarakat yang selalu benar dan tidak mencoba merobohkan tembok - tembok yang mengisolasi serta mengkungkung dirinya. Republik Tikus juga diisi oleh masyarakat yang begitu reaktif terhadap kritik. Kritik dari kelompok lain ditanggapi dengan kemarahan sehingga melahirkan dendam – dendam baru tak berkesudahan.

Tidak pernah ada dialog dalam arti yang sesungguhnya dan kalaupun ada maka hanya berhenti pada sebuah tontotan dan bukan diskursus serius bagi investasi pemikiran dan pencerdasan jangka panjang. Bangsa Tikus seharusnya bisa belajar menerima kritik dan masukan. Tentu semua orang sudah tahu bahwa ketika Nicolaus Copernicus dengan bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium pada tahun 1543, menerima reaksi yang luar biasa “keji” dari gereja dan masyarakat ketika ia menantang kosmologi geosentris yang sudah menjadi dogma sejak masa Aristoteles. Republik Tikus akan terus mengalami proses pembodohan dan semakin jauh terperosok apabila selalu memproteksi diri dari kritik dan masukan.

Sudah saatnya Bangsa Tikus memiliki sebuah buku harian, yang didalamnya berisi detail catatan kejadian - kejadian masa lalu, entah itu yang baik maupun yang buruk, sepanjang itu adalah fakta - fakta yang pernah hadir. Catatan itu pada akhirnya dapat dipakai serta berguna untuk menjadi inspirasi dan renungan bagi perbaikan pada masa kini dan masa mendatang. Tidak ada salahnya meniru apa yang dilakukan oleh kaum Puritan New England Amerika akhir abad 17, yang dengan buku hariannya mereka pada akhirnya mampu membangun struktur masyarakat dengan pondasi ekonomi yang kuat, meskipun tentu tidak harus bersikap sok peitis dengan gaya munafiknya. Tit...tit..tit..tit, tiba – tiba alarm berbunyi, membangunkan saya dari tidur dan melenyapkan mimpi itu. Saya bergegas bangun, mandi dan pergi ke kampus untuk mengajar.


Pancoran, Desember 2007

Tidak ada komentar: