Boeloe
Oleh: Fajar Setiawan Roekminto
Dikutip dari Lelaki dan Perempuan, "A Toccata Galuppi's
Robert Browning. Pujangga Inggris (1812-1889)
Bulu, pernahkan kita berpikir bahwa kulit kita tidak ditumbuhi bulu? Alangkah menderitanya tubuh ini. Cuaca yang begitu ekstrem di luar tubuh, telah memaksa kita untuk tetap merindukan bulu agar terus menempel di kulit. Tidak ada yang dapat memungkiri akan pentingnya bulu bagi./ tubuh, terlepas dari apakah manusia suka atau tidak dengan kehadiran bulu-bulu tersebut. Bulu yang tersebar di seluruh tubuh memiliki nama yang berbeda-beda, seperti misalnya bulu yang tumbuh di kepala disebut dengan rambut, lalu terdapat alis, kumis, jengot, bulu dada, bulu ketiak dan lain sebagainya.
Bulu dan manusia ternyata memiliki hubungan yang sangat erat, tidak hanya karena bulu sudah dengan sendirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh, melainkan juga yang lebih dalam lagi, hubungan filosofis dan budaya. Dalam jagad sastra misalnya, pujangga Inggris kelas wahid macam Robert Browning bahkan memilih kata bulu (rambut) dalam karyanya untuk melukiskan salah satu bagian tubuh yang mampu memberi kecantikan pada wanita. Selain puisi terdapat juga judul film bertajuk Hair, sebuah film musikal yang bercerita mengenai seorang anak muda dari kota kecil yang berteman dengan kaum hippies di Central Park, kota New York.
Dibanding dengan bulu-bulu lain, bagi perempuan, sepertinya hanya rambut yang begitu mendapat perhatian, bahkan dapat dikatakan mahkota bagi mereka. Berbeda dengan pria, tidak hanya rambut yang mendapat perhatian serius melainkan juga bulu-bulu lain seperti kumis dan jenggot. Memang pada era tahun 60-an dan 70-an sempat juga menjadi tren di kalangan anak-anak muda di Amerika Serikat untuk memelihara tidak hanya kumis dan jenggot melainkan juga bulu ketiak.
Bagi mereka, bulu seperti menjadi sebuah bentuk pembebasan dari ekspresi “generasi bunga (flower generation)”, generasi yang selalu memuja kebebasan tanpa batas. Sebagai bentuk peringatan akan kerinduan kebebasan, lahirlah kemudian festival Woodstock, sebuah festival musik rock yang berlangsung di sebuah desa dekat Woodstock, New York. Mengenai bulu bernama kumis, Indonesia juga memiliki cerita yang panjang dan menghebohkan anak-anak muda generasi tahun 80-an melalui demam “kumis Rano Karno”, termasuk saya yang pada waktu itu masih duduk di bangku SMP.
Manusia, sebagai sosok unik dan seringkali bersikap nyleneh, barangkali sudah lelah memperlakukan bulu-bulu yang menempel di tubuhnya hingga kemudian melirik bulu lain, yakni bulu binatang. Dengan demikian tidak mengherankan apabila bulu binatang dengan cepat menjadi sebuah industri yang besar dan menjanjikan. Namun kejayaan bulu binatang ini perlahan-lahan luntur, khususnya ketika terbentuk banyak organisasi pecinta binatang atau mereka yang peduli dengan fauna yang selama ini menjadi korban keganasan industri bulu.
Tikus, sebagai binatang mamalia, yang tentu saja berbulu, rupanya bukan termasuk binatang yang masuk dalam kategori spesies yang masuk dalam hitungan para pecinta binatang. Pertama, karena binatang ini tidak terlalu besar sehingga jumlah bulu yang dihasilkan juga tidak signifikan dari segi kuantitas. Kalaupun dengan terpaksa tikus-tikus ini dibantai untuk diambil bulunya maka jenis barang yang dapat dibuat dari bulu tikus paling-paling hanya tempat hand phone atau dompet kecil tempat menaruh uang receh. Kedua, kualitas bulu tikus tidak terlalu baik untuk dipakai sebagai bahan fashion. Kualitas bulu sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi, sedangkan tikus tidak pernah memiliki menu makanan yang jelas karena bukan termasuk binatang piaraan yang lazim, sehingga tikus hanya makan apa saja yang dia dapat di got dan tempat sampah.
Namun demikian di negerinya sendiri, Republik Tikus, masalah bulu ini tengah menjadi pembicaraan hangat. Hanya saja saya tidak habis mengerti mengapa di negeri ini terdapat dua kata, yakni “bulu” dan “boeloe”. Kata kedua ditulis dengan ejaan lama. “Barangkali tikus-tikus ini tidak mengikuti perkembangan bahasa manusia, hingga ejaannya masih saja menggunakan ejaan lama,” pikir saya dalam hati. Apa maksudnya? Tapi mengapa harus ada dua kata untuk “bulu”. Bulu yang pertama jelas saya tahu karena pada saat berada di terminal bis para tikus, saya membaca sebuah brosur iklan, Dijual murah penumbuh bulu hanya 50 uskit (Mata uang Republik Tikus). Brosur iklan itu menempel di dinding toilet yang terkenal sangat pesing. Bukankah air kencing tikus memang pesing dan mematikan?
Sambil berjalan dan masih diselimuti rasa penasaran serta kebingungan, saya melihat spanduk bertuliskan, Hadirilah Seminar Mengenai Boeloe, Jangan Sampai Ketinggalan. Wah apalagi ini? Hampir di setiap pojok kota, para tikus sibuk membicarakan mengenai masalah boeloe ini. Saya sengaja berjalan pelan dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud agar dapat menguping pembicaraan mereka. Saya berhenti sebentar ketika terdengar suara seekor tikus yang sangat perlente sedang berbicara serius dengan beberapa tikus lain. Dengan suara yang menggelegar tapi artikulasinya tidak jelas, dia berkata bahwa kehancuran negeri tikus merupakan sebuah konsekuensi logis atas banyaknya politisi negeri tikus yang tidak berboeloe pada masa lalu dan saat ini. Lebih lanjut dia berbicara mengenai pentingnya character building melalui filsafat boeloe. Ada-ada saja ini, masak ada sih filsafat kok filsafat boeloe. Empat ekor tikus yang menjadi pendengar tersebut dengan serentak membenarkan pendapat tikus perlente tersebut. Bahkan untuk memperkuat dukungan, mereka memberikan beberapa bukti sejarah mengenai perjalanan Republik Tikus, sebuah republik yang selalu membuat kesalahan berulang-ulang akibat ketidakpercayaannya pada kekuatan sendiri. Sama persis dengan Republik Indonesia. Republik yang tidak pernah pede sejak meninggalnya Soekarno. Terlepas dari apapun kesalahan Soekarno, saya masih tetap bangga sebagai warga Indonesia karena memiliki dia. Kadang-kadang saya merindukan kehadiran sosok seperti Soekarno agar Malaysia tidak semena-mena dan Barat juga tidak seenak udel-nya sendiri mengatur Indonesia lewat tangan IMF yang kotor. Atau mungkin kita pantas dihina karena selalu menghinakan diri kita sendiri.
Sudah setengah hari saya berjalan mengelilingi ibukota Republik Tikus hanya untuk mencari informasi mengenai kata boeloe ini. Di sebuah kedai saya berhenti untuk sekedar melepas lelah. Sambil menikmati segelas es teh manis dan bakpao saya memperhatikan seekor tikus yang sedang asyik memelototi layar, seperti layar televisi berukuran 10 inchi. Setelah saya perhatikan dengan seksama dan menanyakan kepada tikus tersebut, baru saya tahu kalau alat itu bernama Ipempeco Machine. Sebuah alat yang bisa dipakai untuk menulis, menggambar dan bermain game. Ipempeco adalah merek dagang yang merupakan akronim nama pabrik pembuatnya. Saya sempat membaca di Harian Warta Tikus, bahwa para ilmuwan di laboratorium Ipempeco atau International Producing Electronic Machine Perfunctorily Company, baru saja mengembangkan sebuah teknologi baru yang luar biasa bernama Temon Information Technology, sebuah teknologi yang diciptakan untuk mendorong percepatan implementasi teknologi informasi (TI) dan salah satu hasilnya adalah Impempeco Machine.
“Luar biasa negeri ini,” pikir saya dalam hati. Saya angkat jempol dengan perusahaan TI terbesar di negeri tikus ini. Saya berdecak kagum bercampur menyesal. Saya kemudian melamun, andai saja saya menjadi warga negara tikus, saya tentu sudah sangat kaya raya dan cukup bekerja menjadi makelar teknologi karena dapat menjual teknologi manusia yang jauh lebih canggih namun dengan harga murah. Saya jadi berpikir kenapa tidak dari dulu saya menjadi makelar saja, kok malah jadi guru. Tapi itu sebuah resiko, bukankah kalau kita ingin kaya maka kita harus menjadi kapitalis. Mungkin itu juga yang menyebabkan lahirnya kabiro atau kapitalis birokrat. Karena tidak ada barang yang bisa dijual untuk mendapatkan keuntungan maka jabatan saja yang dijual agar bisa membeli mobil baru, vila baru dan istri baru.
Ditengah-tengah lamunan saya sebagai makelar teknologi, saya dikagetkan oleh serombongan mahasiswa tikus yang berpakaian lusuh khas mahasiswa, yang berjalan melintasi kedai tempat saya duduk melepas lelah. Rupanya mereka akan melakukan unjuk rasa, karena saya melihat dua spanduk besar dan panjang bertuliskan, Hapuskan Prinsip Biar Miskin Asal Boros dan Impempeco Pembohong, Impempeco Tidak Berboloe. Lagi-lagi masalah bulu, ada apa ini?
Jarum jam di tangan saya sudah menunjukan pukul empat sore, dan tiba-tiba hand phone saya bermerk Bakpia berbunyi dengan nyaring. Telpon itu rupanya datang dari tikus sahabat saya yang besar dan berbulu tebal. Dia minta saya segera datang ke rumahnya karena dia sudah menunggu sejak tadi pagi. Saya kemudian bergegas karena ingin mendapatkan penjelasan mengenai boeleo itu tadi. Satu jam kemudian saya sudah sampai di rumahnya dan kami saling bersalaman erat. Setelah berbasa-basi dan bicara ngalor ngidul, saya kemudian menanyakan mengenai apa yang saya lihat dalam perjalanan saya ke rumahnya dan tentu tidak lupa menanyakan mengenai kata boeloe tersebut. Saya berharap bahwa tikus sahabat saya ini dapat menjelaskan dengan detail mengenai kata itu. Namun di luar dugaan dia malah tertawa terbahak-bahak bahkan sampai terkencing-kencing. Saya sedikit marah tapi juga penasaran. Setelah puas melampiaskan tawanya dia bercerita panjang lebar mengenai kondisi yang ada di negeri tikus akhir-akhir ini. Saya terdiam, geli, marah, kesal. Meski saya tidak lahir di negeri tikus dan menjadi warga negeri tikus, saya sangat menyukai negeri ini. Negeri jenaka dengan seribu humor dan seribu memori bagi saya. Dari penjelasan dia, saya baru mengerti kalau kata boeloe adalah akronim dari boedaja maloe. Saya juga baru tersadar kalau kata boeloe sengaja ditulis dalam ejaan lama karena memang sudah menjadi barang yang sangat langka di negeri tikus. Setelah mendengar penjelasan tersebut giliran saya yang tertawa terbahak-bahak sampai terkencing-kencing.
Lain negeri tikus lain pula negeri cicak. Mengenai masalah boeloe ini di negeri cicak lebih parah lagi karena hampir semua cicak tidak berbulu maupun berboeloe. Cicak memang tidak berbulu karena bukan binatang mamalia tapi cicak sekaligus juga tidak berboloe karena tidak berboedaja maloe. Kalau kondisi di negeri tikus agak berbeda dengan kondisi di negeri cicak, tidak demikian halnya dengan negeri cicak dan Republik Indonesia. Di Indonesia banyak orang yang tidak memiliki malu. Bayangkan ditengah krisis yang terus menerus mendera bangsa Indonesia, masih ada orang yang tidak memiliki malu dengan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk berbelanja di luar negeri melalui kedok studi banding, weleh weleh.
Kita mungkin masih ingat ketika bulan Juni tanggal 21 tahun 1994, Suharto lewat tangannya yang kejam bernama Orde Baru membredel tiga media mingguan terkemuka saat itu, Tempo, Detik dan Editor hanya gara-gara memberitakan mengenai mahalnya pembelian 39 kapal eks Jerman Timur yang dilakukan oleh seorang pakar teknologi yang pada waktu itu menjabat Menristek bernama B.J.Habibie. Saya tidak akan pernah melupakan peristiwa ini karena salah seorang sahabat saya terpaksa harus menerima perlakukan sadis aparat di jalanan dan di penjara ketika melakukan demonstrasi menentang pembredelan tersebut.
Di negeri cicak ternyata peristiwa itu terjadi juga untuk jenis barang yang berbeda, meskipun masih dalam rangka pengadaan alutsista (alat utama sistim pertahanan) yakni pengadaan pistol bagi para perwira di lingkungan ANTARE CAMER atau Angkatan Bersenjata Republik Cicak Merdeka. Menggelikan sekali ketika melihat para perwira berjalan dengan pistol di pinggang yang tidak seragam dan bekas lagi, padahal anggaran belanja negeri cicak sudah tersedot habis untuk pengadaan pistol tersebut. Sama persis seperti yang dilakukan oleh Habibie, membeli kapal bekas yang tidak jelas kualitasnya tapi dengan harga selangit. Dari pembicaraan dengan para perwira cicak, dikatakan bahwa sebagian dari mereka bahkan sudah membeli pistol sendiri karena pistol jatah tersebut tidak berkualitas dan bekas, hingga pistol tersebut diberikan begitu saja untuk dipakai bermain anak-anak mereka dirumah, tentu setelah peluru aslinya diambil dan dimodifikasi untuk manjadi mainan. Pengadaan pistol itu setali tiga uang dengan pengadaan Ipempeco Machine untuk para birokrat di negeri tikus.
Negeri cicak memang negeri yang sangat menggelikan sekaligus menyeramkan, negeri yang tidak pernah selesai, negeri yang gagal dan negeri para cowboy. Orang bisa dengan bebas melakukan apa saja tanpa ada peringatan, sangsi apalagi hukuman. Tidak ada lembaga yang bertugas dan mau mengurusi mereka. Jangankan kesejahteraan, mati atau hidupnya cicak saja tidak ada penguasa negeri yang tahu. Kalau di Indonesia banyak lembaga yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing seperti, Komnas HAM, KPK dan KPPU. Selain itu juga masih banyak lembaga lain yang prestisius seperti Bappenas, Lemhanas, LIPI dan lain sebagainya. Di negeri cicak juga terdapat lembaga-lembaga serupa namun tidak bekerja dengan baik, seperti misalnya Lilitbang (lembaga ini sulit berkembang) dan Lemhanas (lembaga hanya nama saja). Lembaga yang berkembang di negeri cicak hanya Lemsusu alias lembaga suka-suka. Sebuah lembaga yang para petingginya bebas melakukan apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan. “Benar-benar negeri tak berboeloe,” pikir saya dalam hati. Lebih tidak berboeloe lagi ketika saya membaca berita di sebuah harian mengenai kemungkinan negeri cicak melakukan revisi nota kesepahaman dengan negara monyet. Revisi itu dilakukan hanya karena sebuah kebodohan, kesombongan dan ketidak-berboloean itu tadi.
Saya jadi teringat Michel Camdessus, saat sorotan matanya yang angkuh dan menjijikan serta tangan terlipat di dada memandang Suharto yang sedang menandatangani nota kesepahaman dengan IMF. Mungkin si Camdessus berkata dalam hati, “Kapok lu, nyerah lu.” Memang tidak bisa disalahkan karena itulah buah dari rezim yang telah melakukan banyak kesalahan bagi bangsa dan negara serta tega menyengsarakan rakyatnya. Sudah sedemikian tololkah bangsa Indonesia sehingga tidak dapat mandiri dan selalu bergantung pada orang lain. Entahlah, tapi yang pasti karena kita tidak banyak belajar untuk berboeloe dan memahami persoalan di negeri kita sendiri.
Andai saja setiap cicak memiliki boeloe, tentu tidak akan ada cicak yang tamak, bebal, pemarah, sombong dan sok pintar karena sebenarnya cicak-cicak itu hanya binatang kecil yang tidak ada apa-apanya selain birahi yang tinggi untuk mengejar nyamuk bagi perutnya yang lapar. Tidak terasa airmata saya menetes karena tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan perilaku para tikus dan cicak itu. Sambil terlentang dan bertelanjang dada saya pegangi bulu ketiak saya, dan bersyukur pada Tuhan karena masih ada bulu yang menempel di sana. Boeloe, boeloe.
Jakarta 25 Oktober 2007